MAKALAH TINDAK PIDANA KORPORASI
OLEH : LIANTHA ADAM NASUTION, S.H.I
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Sejarah, Pengertian dan Ruang Lingkup Korporasi
Batasan pengertian atau definisi korporasi, erat kaitannya
dengan masalah dalam bidang hukum perdata. Sebab pengertian korporasi merupakan
terminologi yang berkaitan erat dengan istilah badan hukum (rechtspersoon),
dan badan hukum itu sendiri merupakan terminology yang erat kaitannya dengan
bidang hukum perdata.
Soetan K. Malikoel Adil,[1]menguraikan
pengertian korporasi secara etimologis. Korporasi (corporatie, Belanda),
corporation (Inggris), corporation (Jerman) berasal dari kata corporation
dalam bahasa Latin. Seperti halnya dengan kata-kata lain yang berakhir dengan tio,
maka corporation sebagai kata benda (substantivum), berasal dari
kata kerja corporare, yang banyak dipakai orang pada jaman abad
pertengahan atau sesudah itu. Corporare sendiri berasal dari kata corpus
(Indonesia = badan), yang berarti memberikan badan atau membadankan. Dengan
demikian maka akhirnya corporation itu berarti hasil dari pekerjaan
membadankan, dengan lain perkataan badan yang dijadikan orang, badan yang
diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia, yang
terjadi menurut alam.
Berdasarkan uraian diatas, Satjipto Rahardjo,[2]menyatakan
bahwa:
“Korporasi adalah suatu badan hasil ciptaan hukum. Badan
yang diciptakannya itu terdiri dari corpus, yaitu struktur fisiknya dan
kedalamnya hukum memasukkan unsur animus yang membuat badan itu
mempunyai kepribadian. Oleh karena badan hukum itu merupakan ciptaan hukum maka
kecuali penciptaannya, kematiannyapun juga ditentukan oleh hukum.”
Subekti dan Tjitrosidibio, menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan corporatie atau korporasi adalah suatu perseroan yang merupakan
badan hukum. Sedangkan Rudi Prasetyo menyatakan:[3]
“Kata korporasi
sebutan yang lazim dipergunakan di kalangan pakar hukum pidana untuk menyebut
apa yang biasa dalam bidang hukum lain, khususnya bidang hukum perdata, sebagai
badan hukum, atau yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai rechtspersoon,
atau yang dalam bahasa Inggris disebut legal entities atau corporation.”
Pengertian korporasi sebagai badan hukum juga dapat
ditemukan dalam Black’s Law Dictionary, yang menyatakan bahwa:
“An entity (usually a business) having authority under law
to act as a single person distinct from the shareholders who own it and having
rights to issue stock and exist indefinitely, a group or succession of persons
established in accordance with legal rules into a legal or juristic person that
has legal personality distinct from the natural persons who make it up, exists
indefinitely apart from them, and has the legal powers that is constitution
gives it.”
Pendapat tersebut diperkuat oleh Ronald A. Anderson, Iven
Fox dan David P. Twoemey dalam bukunya yang berjudul Business Law, dikatakan
bahwa the corporation as a legal person. Selanjutnya dikatakan bahwa:
“A corporation is an artificial legal being, created by
government grant and endowed with certain powers. That is the corporation
exists in the eyes of the law as a person, separate and distinct from the
people who own the corporation.”
Selanjutnya dikatakan bahwa The corporation can sue and
be sued in its own name with respecht to corporate rights and liabilities, but
the shareholders cannot sue or be used as to those rights and liabilities.
Marshall B. Clinard dan Peter C. Yeager, dalam bukunya yang
berjudul “Corporate Crime” menulis: “a corporate crime is any act committed by
corporations that is punished by the state, regardless of whether it is
punished under administrative, civil, or criminal law.[4]engertian
tersebut diatas akan lebih lengkap dipahami bila dikaitkan dengan keterangan
dibawah ini:
“Corporate crime is white collar crime; but it is of a
particular type. Corporate crime actually is organizational crime occuring in
the context of complex relationships and expectations among boards of
directors, executives, and managers, on the one hand, and among parent
corporations, corporate divisions, and subsidiaries, on the other”[5]
Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa kejahatan
korporasi merupakan bentuk khusus dari white collar crime, dimana
kejahatan tersebut dilakukan secara terorganisasi. Meskipun demikian, perlu
dibedakan antara corporate crime dan occupational crime. Mengenai
perbedaan tersebut, Clinard dan Yeager menulis sebagai berikut:
“Corporate crime, on the other hand, is “enacted by
collectivities or aggregates of discrete individual; it is hardly comparable to
the action of a lone individual”. Corporate an occupational crime can be
confused. If a corporate official violates the law in acting for the
corporation it is corporate crime, but if he gains personal benefit in the
commission of a crime against corporation, as in the case of embelezzlement of
corporate funds, it is occupational crime.
Disamping pengertian kejahatan korporasi seperti tersebut
diatas, perlu pula dibedakan pengertian crime for corporation, crime against
corporation, dan criminal corporations. Crime for corporation merupakan
kejahatan korporasi. Crime against corporation sering disebut sebagai employee
crimes. Sedangkan yang disebut criminal corporations adalah
korporasi yang sengaja dibentuk dan dikendalikan untuk melakukan kejahatan
Apabila dilihat dari perkembangan yang berkaitan dengan
kejahatan korporasi, jenis kejahatan ini seringkali digunakan dalam berbagai
konteks dan penamaan. Ada yang menggunakan white collar crime,
organizational crime, organized crime, business crime, cyndicate crime,
dsb.
Dari berbagai penamaan tersebut nampak bahwa kejahatan
korporasi sebenarnya bukan merupakan kejahatan yang baru. Dlam kaitannya dengan
hal ini J.E. Sahetapy menulis:
“Pelbagai nama, makna, dan ruang lingkup apapun yang hendak
diberikan bertalian dengan corporate crime atau kejahatan korporasi,
pada dasarnya dan dalam sifatnya, kejahatan korporasi bukanlah suatu barang
yang baru. Yang baru adalah kemasannya dan bentuknya serta perwujudannya.
Sifatnya bolehlah dikatakan secara mendasar adalah sama, bahkan dampaknya yang
mencemaskan dan dirasakan merugikan masyarakat sudah dikenal
sejak zaman dulu kala[6]
Setelah memberikan beberapa pengertian tentang kejahatan
korporasi, perlu diketahui bahwa terdapat berbagai bentuk kejahatan yang
dilakukan oleh korporasi. Beberapa kasus pencemaran lingkungan, kejahatan
perbankan (seperti kasus YKAM, kasus PT. SSAMC), merupakan beberapa bentuk
kejahatan yang dilakukan oleh korporasi. Dalam tulisan ini tidak akan
dipaparkan secara mendetail dikarenakan kurangnya bahan (data) yang berkaitan
dengan kasus tersebut.
Masih berkaitan dengan kejahatan korporasi, perlu
dikemukakan di sini bahwa kejahatan korporasi tidak hanya mempunyai pengaruh
yang bersifat local/regional saja tetapi juga secara internasional/global.
Dalam hal ini J.E. Shaetapy menulis sebagai berikut: “dari perspektif terbatas
dari apa yang dikemukakan diatas, boleh dikatakan bahwa para kriminolog belum
menaruh perhatian yang terlalu serius untuk kejahatan korporasi dalam konteks
globalisasi, dan terhadap hal itu, boleh dikatakan secara mutatis mutandis sama
juga terhadap para ahli hukum internasional. Jika diperhatikan secara implicit
apa yang dimaksudkan oleh Sutherland dengan dampak serta akibat white collar
crime dalam suatu dimensi yang lebih luas, maka terlepas dari apakah itu
kompetensi hukum pidana internasional, permasalahan perdagangan obat bius
(narkotika), penyelundupan, perbudakan dalam bentuk yang baru, pelacuran
terselubung, terorisme, pembunuhan missal (genocide), pelanggaran
hak-hak asasi manusia baik dalam konteks mental dan spiritual, dan mungkin
dapat pula disebut kejahatan perang “lokal”.
Disamping itu,dalam konteks kejahatan korporasi masih ada
pula bidang-bidang lain yang masih perlu mendapatkan perhatian seperti
pengrusakan lingkungan hidup (ekologi), polusi dalam pelbagai bentuk, di laut
dan di udara, pencurian terhadap barang-barang kuno (ertifak), pengrusakan
sumber-sumber alam secara tidak bertanggung-jawab dan demikian pula terhadap
binatang-binatang langka (perburuan terhadap jenis ikan paus tertentu,
manipulasi keuangan secara internasional (melalui dunia perbankan), perdagangan
senjata gelap, pelanggaran terhadap perjanjian perdagangan, penyalahgunaan
tenaga kerja, baik di dalam negeri maupun di luar negeri dan antar negara,
obat-obatan yang berbahaya yang tidak digunakan lagi di dunia Barat dilemparkan
di dunia ketiga, demikian pula dengan industry-industri yang dari segi polusi
tidak dapat digunakan lagi, dimasukkan secara terselubung di dunia ketiga,
pembuangan limbah industry, dan barangkali dilihat dari segi badan hukum
public, mendirikan pusat tenaga nuklir untuk keperluan energi secara tidak
bertanggung-jawab (ingat, misalnya kasus Chernobyl). Pendeknya, suatu “terra
incognita” dan lading luas yang masih perlu dieksplorasi dan dieksploitasi
dalam perspektif kejahatan korporasi. Dalam kaitan itulah, maka kriminologi dan
viktimologi tentu harus mengandalkan diri pada berbagai disiplin lainnya dalam
mengungkapkan – dalam konteks uraian ini – apa yang dinamakan kejahatan korporasi[7]
Lebih lanjut beliau mengungkapkan permasalahan korupsi antar
negara yang dilakukan oleh korporasi raksasa (yang bonafide) dalam usaha
menyuap atau melibatkan tokoh birokrat dan atau penguasa di negara yang
bersangkutan, tidak kaum politisi, tetapi tokoh atau
pribadi yang disegani[8]
Setelah memaparkan kejahatan korporasi yang mempunyai bentuk
sangat luas – tidak hanya nasional/regional – tetapi sudah mencapai
internasional atau global serta dapat mempengaruhi orang-orang yang mempunyai
orang-orang yang mempunyai kekuasaan dan berpengaruh, J.E. Sahetapy
mengingatkan kita bahwa “kejahatan korporasi ibarat penyakit kanker yang jika
tidak tidak ditangani secara dini, akan merusak seluruh kerangka dan struktur
serta moralitas dari suatu masyarakat[9]
- Korban
Kejahatan Korporasi
Memberikan suatu pengertian atau definisi terhadap korban
bukanlah suatu yang mudah, karena pengertian korban dapat dilihat dari berbagai
sudut pandang. Demikian pula, pengertian korban tidak hanya berkaitan dengan
korban kejahatan saja tetapi juga meliputi korban yang lain. Sebagai suatu
pegangan, akan dikemukakan pengertian korban yang diberikan oleh Paul
Separovic, sebagai berikut:
“…..those persons who are threatened, injured or destroyed
by an act or omission of another (man, structure, organization or institution)
and consequently, a victim would be anyone who has suffered from or been
threatened by a punishable act (not only criminal act but also other punishable
acts as misdeanors, economic offenses, non-fulfilment of work duties) or from an
accident, etc.). Suffering may be caused by an other man (man-made victim) or
another structure, where people are also involved[10]
Dari pengertian tersebut, jelas bahwa korban adalah orang
yag mengalami penderitaan karena sesuatu hal. Yang dimaksud dengan sesuatu hal
disini dapat meliputi perbuatan orang, institusi atau lembaga, dan struktur.
Selanjutnya Separovic menyatakan bahwa yang dapat menjadi
korban tidak hanya manusia saja tetapi dapat pula meliputi korporasi, negara,
asosiasi, keamanan, kesejahteraan umum, dan agama.[11]
Dari paparan tersebut dapat diketahui bahwa siapa saja dapat
menjadi dan atau menimbulkan korban. Dengan kata lain semua manusia potensial
untuk menjadi korban. Sebaliknya pula semua orang dapat menimbulkan korban.
Sejak viktimologi diperkenalkan sebagai suatu ilmu
pengetahuan yang mengkaji permasalahan korban beserta segala aspeknya, Wolfgang
melalui suatu penelitiannya, mengemukakan bahwa korban turut serta atau
berperanan dalam terjadinya suatu kejahatan.
Dalam kaitannya dengan korban kejahatan korporasi, Clinard
dan Yeager menyatakan: “except in such crimes as fraud, the victim of ordinary
crime knows that he or she has been victimized. Victims of corporate crimes, on
the other hand, are often unaware that they have been taken. Dari pernyataan
tersebut dapat diketahui bahwa korban kejahatan korporasi tidak
merasa/menyadari bahwa dirinya telah menjadi korban. Suatu pertanyaan akan
muncul; mengapa hal itu bisa terjadi? Mengapa ada korban yang tidak merasa
bahwa dirinya telah menjadi korban? Erat pula berkaitan dengan pertanyaan
tersebut adalah: kalau keadaannya demikian bagaimana mungkin korban kejahatan
korporasi bisa diketahui?
Dari pernyataan Clinard dan Yeager bahwa korban kejahatan
korporasi tidak menyadari bahwa dirinya telah menjadi korban, dapat diketahui
bahwa korban kejahatan korporasi akan sulit diketahui. Ini berarti pula
terdapat suatu kesulitan untuk mengetahui apakah telah terdapat suatu kejahatan
yang dilakukan oleh korporasi atau tidak. Dalam kepustakaan kriminologi, sulitnya
mengetahui kejahatan tidak hanya dibidang kejahatan korporasi saja tetapi juga
meliputi semua jenis kejahatan. Hal ini disebabkan banyaknya kejahatan yang
tidak diketahui oleh polisi, yang tidak dilaporkan oleh korban kepada polisi.
Menurut Steven Box, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan korban tidak mau
melaporkan kejahatan yang telah dialaminya. Faktor-faktor tersebut adalah:
- Korban
mengetahui bahwa dirinya telah menjadi korban, tetapi tidak bersedia
melapor karena:
- Menganggap
polisi tidak efisien atau tidak akan memperdulikan laporannya;
- Menganggap
peristiwa tersebut merupakan “urusan pribadi” karena:
- Akan
menyelesaikan langsung di luar pengadilan dengan si pelaku (extra
yudisil);
- Merasa
malu dan tidak bersedia menjadi saksi di Kepolisian dan Pengadilan
(miisalnya kejahatan kesusilaan dan penipuan);
- Korban
tidak mengetahui bahwa dirinya telah menjadi korban dari suatu perbuatan
pidana. Misalnya dalam penipuan atau penggelapan yang dilakukan secara
halus;
- Korban
yang sifatnya abstrak (abstract victim). Oleh karena itu sulit
menentukan secara khusus dan jelas. Misalnya konsumen yang tertipu;
- Menjadi
korban kejahatan karena dirinya sendiri terlibat dalam kejahatan. Misalnya
korban kejahatan narkotika, abortus;
- Secara
resmi tidak terjadi korban karena kewenangan (diskresi) polisi untuk
menentukan peristiwa apa dan mana yang merupakan kejahatan (hal ini
menyangkut kebijakan dan penegakan hukum)
Bila dikaitkan dengan korban kejahatan korporasi, dimana
korban tidak merasa bahwa dirinya talah menjadi korban, maka dapat dikatakan
bahwa korban kejahatan korporasi merupakann “abstract victim”.
Kondisi ketidaktahuan korban ditambah adanya kesulitan dalam
mengidentifikasi dan mengungkap adanya kejahatan korporasi, merupakan situasi
yang menguntungkan bagi korporasi dalam melestarikan perilaku negatifnya. Dalam
media massa sering disajikan berita tentang pencemaran lingkungan (air, udara,
dsb) yang dilakukan oleh pabrik. Penelitian telah dilakukan untuk mengetahui
kadar pencemaran dan korban pun telah dapat diidentifikasi. Tetapi apa yang
terjadi selanjutnya? Pencemaran tetap merupakan pencemaran, dan pabrik serta
industri tetap berdiri dengan megah seolah berkata “kejarlah daku kau tak bisa
menangkap”. Untuk melengkapi uraian diatas, beberapa laporan dari media massa
perlu dikemukakan di sini. “Gresik Bukan Minamata Bung!” Uraian Kompas tersebut
merupakan peringatan bagi kita jangan sampai Gresik menjadi Minamata. Berita
itu menjadi lengkap dengan diturunkannya laporan “Gangguan Paru dan Keguguran
Janin Akibat Polusi”. Pencemaran tidak hanya terjadi di Gresik. Di beberapa
kota juga terjadi pencemaran: “Sampah Masih Menyatu dengan Kali Ciliwung”. Di
sepanjang Kali Brantas, 86 persen Industri Lampaui Ambang Batas Pencemaran”;
“Penduduk Bekasi Resah Tercemar Pabrik Tekstil”; Pencemaran Kali Citarum
Melampui Ambang Batas”; “Polusi Pabrik di Tangerang Makin Khawatirkan Penduduk”
Dibidang perbankan pun tak kalah serunya. Setelah kasus YKAM
yang cukup menghebohkan masyarakat, ada beberapa contoh kasus yang cukup
meresahkan, yang dimuat dalam media massa. “Mantan Dirut perusahaan Money
Changer PT Gunung Sion” yang berhasil membawa lari uang nasabahnya sebesar
Rp 30 miliar; Dirut PT Bank Pasar Gunung Palasari, Anthony Yuwono, melarikan
uang nasabahnya sebesar Rp 16 miliar, dengan cara pura-pura kalah kliring;
Dirut PT Telagamas Murni Benghar, Kosim Wahab, membawa kabur uang nasabahnya
sebesar Rp 17 miliar; Dirut PT Makmur Jaya Motor berhasil membawa kabur uang
sebesar Rp 8 miliar melalui perusahaan fiktif.
Dari pemberitaan di media massa dapat diketahui bahwa
kejahatan korporasi merupakan kejahatan yang serius, baik dilihat dari segi
kriminologi maupun viktimologi. Seriusnya kejahatan korporasi dinyatakan pula
oleh Clinard dan Yeager: “The Public today regards white collar and corporate
crime as serious offenses – in fact, as equal to, and even more serious than,
many “ordinary crime”, such as burglary and robbery”
Berbeda dengan pernyataan tersebut, James Q. Wilson berpendapat “predatory
street crime to be a far more serious matter than consumer fraud, anti-trust
violation etc ….. because predatory crime ….. makes difficult or impossible the
maintenance of meaningful human communities”. Pernyataan Wilson tersebut
ternyata tidak didukung oleh data yang menunjukkan perbedaan keseriusan antara
kejahatan korporasi dengan kejahatan konvensional. Kejahatan korporasi tidak
hanya menimbulkan kerugian dalam bentuk lain. Kasus Minamata, merupakan contoh
kasus yang tidak perlu terulang, dimanapun, termasuk di Indonesia. Dalam hal
ini Clinard dan Yeager menulis: “corporate crime have other serious effects
in that they negatively effects the moral climate of American Society”.
Bagaimana dengan di Indonesia?
Bagaimanapun aspek negatif yang ditimbulkan oleh kejahatan
korporasi, yang jelas kejahatan korporasi memang sulit untuk dibuktikan. Untuk
itu perlu dikemukakan beberapa kendala yang dihadapi dalam mengungkap kejahatan
tersebut. Pertama, yaitu kurang pengalaman dan pendidikan yang memadai dari
kriminolog bertalian dengan pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi..
Disamping itu, permasalahan yang dihadapi bercampur aduk dengan suatu
kompleksitas ekonomi dan politik, dimana para kriminolog belum berpengalaman
sebelumnya. Kedua, adanya kesulitan untuk memperoleh data, bukan saja dari
korporasi yang bersangkutan tetapi juga dari lembaga-lembaga yang terlibat
dalam pengawasan terhadap permasalahan (kejahatan) korporasi. Sebagai kendala
yang terakhir adalah terbatasnya sumber dana untuk suatupenelitian dalam bidang
ini. Akhir-akhir ini, kendala yang ketiga sudah dapat diatasi dengan adanya Law
Enforcement Assistence Administration of The Departement of Justice
Kembali kepada kondisi korban kejahatan korporasi yang tidak
merasa telah menjadi korban. Bagaimana, mengungkap telah terjadi suatu viktimisasi
oleh korporasi? Penelitian!! Penelitian dengan menggunakan teknik: data dari
pengadilan (court records), obsevasi, dan wawancara dengan menggunakan
daftar pertanyaan yang terbuka (open-ended interview), pada masa
sekarang dianggap mampu mengungkap adanya kejahatan korporasi. Sedangkan untuk
mengungkap adanya korban dapat dilakukan dengan cara “victimization surveys”
dan “self reported crime”.[12]
Tetapi untuk mengetahui korban kejahatan korporasi, kedua cara tersebut masih
diragukan kehandalannya. Mengapa? Karena korban kejahatan korporasi tidak
merasa bahwa dirinya telah menjadi korban. Korban baru dapat diidentifikasi
bila kejahatan yang dilakukan oleh korporasi dapat diungkap terlebih dahulu
atau korban merasakan kerugian materiil.
Ronald A. Anderson, Ivan Fox dan David P. Twomey,
menggolongkan korporasi didasarkan kepada:
- Hubungannya
dengan publik;
- Sumber
kekuasaan dari korporasi tersebut;
- Sifat
aktivitas dari korporasi.
Dari penggolongan tersebut yang dikenal di negara Anglo
Saxon, maka jenis-jenis korporasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
- Korporasi
Publik adalah sebuah korporasi yang didirikan oleh pemerintah yang
mempunyai tujuan untuk memenuhi tugas-tugas administrasi dibidang urusan
publik. Contohnya di Indonesia seperti pemerintahan kabupaten atau kota.
- Korporasi
Privat adalah sebuah korporasi yang didirikan untuk kepentingan
privat/pribadi, yang dapat bergerak dibidang keuangan, industri dan
perdagangan. Korporasi Privat ini sahamnya dapat dijual kepada masyarakat,
maka penyebutannya ditambah dengan istilah public. Contoh di Indonesia PT.
Garuda Tbk., Tbk. (terbuka) menunjukkan bahwa perusahaan tersebut telah go
public atau sahamnya perusahaan telah dijual kepada masyarakat melalui
bursa saham. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal, Pasal 1 angka 21 dikatakan bahwa Perusahaan Publik adalah Perseroan
yang sahamnya telah dimiliki sekurangnya-sekurangnya oleh 300 (tiga ratus)
pemegang saham dan memiliki modal disetor sekurang-kurangnya Rp
3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) atau suatu jumlah pemegang saham dan
modal disetor yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
- Korporasi
Publik Quasi, lebih dikenal dengan korporasi yang melayani kepentingan
umum (public serices). Contohnya di Indonesia adalah PT. Kereta Api
Indonesia, Perusahaan Listrik Negara, Pertamina, Perusahaan Air Minum.
Korporasi sebagai badan hukum keperdataan di Indonesia dapat
dirinci dalam beberapa golongan, dilihat dari cara mendirikan dan peraturan
perundang-undangan sendiri, yaitu:
- Korporasi
egoistis yaitu korporasi yang menyelenggarakan kepentingan para
anggotanya, terutama kepentingan harta kekyaan, misalnya Perseroan
Terbatas, Serikat Sekerja;
- Korporasi
yang altruistis, yaitu korporasi yang tidak menyelenggarakan kepentingan
para anggotanya, seperti perhimpunan yang memperhatikan nasib orang-orang
tuna netra, tuna rungu, penyakit tbc, penyakit jantung, penderita cacat,
Taman Siswa, Muhammdiyah dan sebagainya.
I.S. Susanto, mengemukakan secara umum korporasi memiliki
lima cirri penting yaitu:
- Merupakan
subjek hukum buatan yang memiliki kedudukan hukum khusus.
- Memiliki
jangka waktu hidup yang terbatas.
- Memperoleh
kekuasaan (dari negara) untuk melakukan kegiatan bisnis tertentu.
- Dimiliki
oleh pemegang saham.
- Tanggung
jawab pemegang saham terhadap kerugian korporasi biasanya sebatas saham
yang dimilikinya.
Badan hukum (rechtspersoon, legal persons, persona
moralis, legal entity) adalah subyek hukum. Subyek hukum Sudikno
Mertokusumo adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari
hukum. Yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum hanyalah manusia.
Jadi manusia oleh hukum diakui sebagai penyandang hak kewajiban, sebagai subyek
hukum atau sebagai orang. Bahkan janin yang masih ada dalam kandungan seorang
wanita dalam berbagai tatanan hukum modern, sudah dipandang sebagai subyek
hukum sepanjang kepentingannya memerlukan pengakuan dan perlindungan hukum.
Dalam kenyataan kemasyarakatan dewasa ini, bukan hanya
manusia saja yang oleh hukum diakui sebagai subyek hukum. Untuk memenuhi
kebutuhan manusia itu sendiri, kini dalam hukum juga diberikan pengakuan
sebagai subyek hukum pada yang bukan manusia. Subyek hukum yang bukan manusia
itu disebut badan hukum (legal person). Jadi, badan hukum adalah
pendukung hak dan kewajiban berdasarkan hukum yang bukan manusia, yang dapat
menuntut atau dapat dituntut subyek hukum lain di muka pengadilan. Ciri-ciri
dari sebuah badan hukum adalah:
- Memiliki
kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan orang-orang yang menjalankan
kegiatan dari badan-badan hukum tersebut;
- Memiliki
hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang terpisah dari hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang terpisah dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban
orang-orang yang menjalankan kegiatan badan hukum tersebut;
- Memiliki
tujuan tertentu;
- Berkesinambungan
(memiliki kontinuitas) dalam aryi keberadaannya tidak terikat pada
orang-orang tertentu, karena hak-hak dan kewajiban-kewajibannya tetap ada
meskipun orang-orang yang menjalankannya berganti.
Badan hukum dapat pula dibedakan atas 2 (dua) jenis, yakni:
- Badan
hukum publik;
- Badan
hukum privat.
Di Indonesia kriteria yang dipakai untuk menentukan sesuatu
badan hukum termasuk badan hukum publik atau termasuk badan hukum privat ada 2
(dua) macam:
- Berdasarkan
terjadinya, yakni badan hukum privat didirikan oleh perseorangan,
sedangkan badan hukum publik didirikan oleh pemerintah/negara.
- Berdasarkan
lapangan kerjanya, yakni apakah lapangan pekerjaannya itu untuk
kepentingan umum atau tidak. Kalau lapangan pekerjaannya untuk kepentingan
umum, maka badan hukum tersebut merupakan badan hukum public. Tetapi kalau
lapangan pekerjaannya untuk kepentingan perseorangan, maka badan hukum itu
termasuk badan hukum privat.
Badan hukum publik misalnya: Negara Republik Indonesia,
Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota, sedangkan badan hukum privat misalnya
Perseroan Terbatas (Undang-Undang No. 1 Tahun 1995), Yayasan (Undang-Undang No.
16 Tahun 2001) dan sebagainya. Pada saat sekarang empat Perguruan Tinggi Negeri
yaitu, Universitas Indonesia (UI) (berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 152
Tahun 2000), Universitas Gadjah Mada (berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
153 Tahun 2000), Institut Pertanian Bogor (IPB) (berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 154 Tahun 2000), Institut Teknologi Bandung (berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 155 Tahun 2000), mempunyai status Badan Hukum Milik
Negara (BHMN). Berdasarakan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 tentang
Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum antara lain didasarkan
kepada pertimbangan bahwa Perguruan Tinggi Negeri telah memiliki kemampuan
otonomi, dan tanggungjawab yang lebih besar.
Pengertian korporasi dalam hukum perdata berdasarkan uraian
sebelumnya ternyata dibatasi, sebagai badan hukum. Sedangkan apabila ditelaah
lebih lanjut, pengertian korporasi dalam hukum pidana ternyata lebih luas. Di
Indonesia perkembangan korporasi sebagai subyek tindak pidana terjadi di luar
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dalam perundang-undangan khusus. Sedangkan
KUHP sendiri masih tetap menganut subyek tindak pidana berupa “orang” (lihat
Pasal 59 KUHP). Sedangkan subyek tindak pidana korporasi, dapat ditemukan dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika Pasal 1 angka 13,
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 1 angka 19,
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korporasi,
Pasal 1 angka 1, Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 jo. Undang-Undang No. 25 Tahun
2003, Pasal 1 angka 2, tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang pada intinya
mengatakan: “Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang
terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan
hukum.
Ketentuan yang hampir sana juga dapat ditemukan dalam
Undang-Undang Drt. Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, Pasal 15
ayat (1), menyatakan bahwa: “Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan atas
nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan,
maka…dan seterusnya.”
Rumusan tersebut juga ditemukan dalam Pasal 51 W.v.S. (KUHP
Belanda), yang telah diperbaharui pada tahun 1976. Adapun bunyinya adalah:
- Tindak
pidana dapat dilakukan oleh manusia alamiah dan badan hukum;
- Apabila
suatu tindak pidana dilakukan oleh badan hukum, dapat dilakukan tuntutan
pidana, dan jika dianggap perlu dapat dijatuhkan pidana dan
tindakan-tindakan yang tercantum dalam undang-undang terhadap:
1.
Badan
hukum atau;
2.
Terhadap
mereka yang memerintahkan melakukan perbuatan itu, demikian pula terhadap
mereka yang bertindak sebagai pemimpin melakukan tindakan yang dilarang itu,
atau;
3.
Terhadap
yang disebutkan di dalam a dan b bersama-sama;
- Bagi
pemakaian ayat selebihnya disamakan dengan badan hukum perseoran tanpa hak
badan hukum, perserikatan dan yayasan.
Sehubungan dengan perubahan KUHP Belanda pada tanggal 1
September tahun 1976, khususnya yang menyangkut isi rumusan Pasal 51 W.v.S.
(Pasal 59 KUHP Indonesia), Andi Hamzah menyatakan:
“Sudah jelas, jika korporasi menjadi subjek, pidana yang
dapat dijatuhkan tentulah bukan pidana penjara melainkan pidana denda atau
ganti kerugian beserta pidana tambahan yang lain. Oleh karena itu NW.v.S. (KUHP
Baru Belanda, penulis) pun diubah yang menentukan bahwa semua delik didalam
NW.v.S. ada ancaman pidana denda sebagai alternatif, walaupun tidak dapat
dibayangkan bahwa pembunuhan terhadap raja dapat dipidana denda. Mungkin
pembuat revisi NW.v.S. mendapat kesulitan untuk memilah-milah delik apa sajakah
yang dapat dilakukan oleh korporasi dan delik apa yang tidak mungkin dilakukan.
Jelas, tidak mungkin korporasi melakukan delik perkosaan atau penganiayaan.
Oleh karena itu, rupanya pembuat ketentuan korporasi menjadi subjek delik
didalam NW.v.S. diserahkan kepada praktek, delik mana saja yang korporasi dapat
menjadi subjek, seperti Pasal 127 KUHP tentang leveransir tentara yang
melakukan perbuatan curang. Begitu pula Pasal 387 dan 388 yang menyangkut
pemborong yang melakukan perbuatan curang yang dapat mengakibatkan bahaya bagi
keselamatan orang atau benda atau negara dalam keadaan perang. Begitu pula
leveransir tentara yang melakukan perbuatan curang yang dapat mendatangkan
bahaya bagi negara dalam keadaan perang. Bukanlah pemborong atau leveransir
besar-besaran itu berupa korporasi?”
Konsekuensi logis tentang kedudukan korporasi sebagai badan
hukum, membawa pengaruh terhadap tindak pidana yang dapat dilakukan terdapat
beberapa pengecualian. Sehubungan dengan hal tersebut Barda Nawawi Arief menyatakan,
walaupun pada asasnya korporasi dapat dipertanggungjawabkan sama dengan orang
pribadi, namun ada beberapa pengecualian, yaitu:
- Dalam
perkara-perkara yang menurut kodratnya tidak dapat dilakukan oleh
korporasi, misalnya bigamy, perkosaan, sumpah palsu.
- Dalam
perkara yang satu-satunya pidana yang dapat dikenakan tidak mungkin
dikenakan kepada korporasi missal pidana penjara atau pidana mati.
Konsekuensi logis lainnya yaitu apabila korporasi diartikan
luas yaitu mempunyai kedudukan sebagai badan hukum dan non badan hukum, seperti
yang dianut di Belanda dan di Indonesia (dalam perundang-undangan khusus di
luar KUHP). Maka secara teoritis dapat melakukan semua tindak pidana, walaupun
dalam proses penegakan hukumnya dilandaskan kepada praktek, seperti yang
terjadi di negeri Belanda.
B. Tahap-Tahap Perkembangan Korporasi Sebagai Subyek Tindak
Pidana
Tahap-Tahap perkembangan korporasi sebagai subyek tindak
pidana, yang akhirnya memberikan pengakuan pada pemidanaan korporasi
(tanggungjawab pidana korporasi), secara garis besar dapat dibedakan dalam tiga
tahap.
- Tahap
Pertama
Tahap ini ditandai dengan usaha-usaha agar sifat delik yang
dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan (natuurlijk persoon).
Apabila suatu tindak pidana terjadi didalam lingkungan korporasi, maka tindak
pidana tersebut dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut. Dalam
tahap ini membebankan “tugas mengurus” (zorgplicht) kepada pengurus.
Tahap ini, sebenarnya merupakan dasar bagi Pasal 51 W.v.Sr
Ned (Pasal 59 KUHP). Adapun bunyi pasal tersebut adalah:
“Dalam hal-hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana
terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris,
maka pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut
campur melakukan pelanggaran tidak dipidana.”
Pada tahap pertama ini, pengurus yang tidak memenuhi
kewajiban-kewajiban yang sebenarnya merupakan kewajiban korporasi dapat
dinyatakan bertanggungjawab. Dalam Pasal 59 KUHP apabila dikaji memuat alasan
penghapusan pidana (strafuitsluitingsrond), dilihat dari bunyi rumusan
yang menyatakan “maka pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang
ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak dipidana”.
Kesulitan yang dapat timbul dengan Pasal 59 KUHP, adalah
sehubungan dengan ketentuan-ketentuan hukum pidana yang menimbulkan kewajiban
bagi seorang pemilik atau seorang pengusaha. Dalam hal pemilik atau
pengusahanya adalah suatu korporasi, sedangkan tidak ada pengaturan bahwa
pengurusnya bertanggungjawab, maka bagaimana memutuskan tentang pembuat dan
pertanggungjawabannya? Kesulitan ini dapat diatasi dengan perkembangan tentang
kedudukan korporasi sebagai subyek tindak pidana pada tahap kedua.
Tahap Kedua
Tahap kedua ini ditandai dengan pengakuan yang timbul
sesudah Peran Dunia I dalam perumusan undang-undang, bahwa suatu perbuatan
pidana dapat dilakukan oleh korporasi. Namun tanggungjawab untuk itu menjadi
beban dari pengurus badan hukum tersebut. Perumusan yang khusus untuk ini yaitu
apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh atau karena suatu badan hukum,
tuntutan pidana dan pidana harus dijatuhkan terhadap anggota pimpinan. Secara
perlahan-lahan tanggungjawab pidana beralih dari anggota pengurus kepada mereka
yang memerintahkan, atau kepada mereka yang secara nyata memimpin dan melakukan
perbuatan yang dilarang tersebut.
Dalam tahap ini, korporasi diakui dapat melakukan tindak
pidana, akan tetapi yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, adalah para
pengurusnya yang secara nyata memimpin korporasi tersebut, dan hal ini
dinyatakan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang hal tersebut.
Tahap Ketiga
Tahap ketiga ini merupakan permulaan adanya tanggungjawab
langsung dari korporasi yang dimulai pada waktu dan sesudah Perang Dunia Kedua.
Dalam tahap ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan meminta
pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Alasan lain adalah karena misalnya
dalam delik-delik ekonomi dan fiskal keuntungan yang diperoleh korporasi atau
kerugian yang diderita masyarakat dapat demikian besarnya, sehingga tidak akan
mungkin seimbang bilamana pidana hanya dijatuhkan kepada pengurus korporasi
saja. Juga diajukan alasan bahwa dengan hanya memidana para pengurus tidak atau
belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi delik tersebut. Dengan
memidana korporasi dengan jenis dan beratnya yang sesuai dengan sifat korporasi
itu, diharapkan dapat dipaksa korporasi untuk mentaati peraturan yang
bersangkutan.
Peraturan perundang-undangan yang menempatkan korporasi
sebagai subyek tindak pidana dan secara langsung dapat dipertanggungjawabkan
secara pidana adalah Undang-Undang Drt. Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan,
Penuntutan dan peradilan Tindak Pidana Ekonomi, yang lebih dikenal dengan nama
Undang-Undang tentang Tindak Pidana Ekonomi. Pasal 15 ayat (1) :
“Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas
nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan,
maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib
dijatuhkan, baik terhadap badan hukum perseroan, perserikatan atau yayasan itu,
baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu
atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu maupun
terhadap kedua-duanya.”
Hal serupa dapat ditentukan pula dalam Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1984 tentang Pos, Pasal 19 ayat (3), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001,
Pasal 20 ayat (1) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo. Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang.
Perumusan diatas menyatakan, yang dapat melakukan maupun
yang dapat dipertanggungjawabkan adalah orang dan/atau perserikatan.korporasi
itu sendiri. Dalam tahap ketiga ini peraturan perundang-undnagan di Indonesia
yang mencantumkan tanggungjawab langsung dari korporasi hanya terbatas dalam
perundang-undangan khusus di luar KUHP. Pada mulanya di Belanda juga sama kondisi
pengaturan tentang subyek tindak pidana korporasi. Akan tetapi setelah
dikeluarkannya Undang-Undang tanggal 23 Juni 1976 maka redaksi Pasal 51 W.v.S.
Belanda (Pasal 59 KUHP Indonesia) mengalami perubahan, sehingga dewasa ini di
Negeri Belanda sudah dianut subyek tindak pidana korporasi dalam hukum pidana
umum (commune strafrecht).
Tahap-tahap perkembangan korporasi sebagai subyek tindak
pidana di Indonesia ternyata mengikuti perkembangan yang terjadi di Negeri
Belanda. Pada tahap pertama didalam KUHP Belanda, Pasal 51 sebelum diadakan
perubahan ketentuan Pasal 59 KUHP Indonesia. Hal tersebut karena pengaruh yang
kuat dari asas universitas delinquere non potest, yang menekankan sifat
delik yang dapat dilakukan korporasi terbatas pada perorangan.
Pada tahap kedua baik di Negeri Belanda maupun di Indonesia,
sudah dikenal pertanggungjawaban pidana korporasi, atau korporasi sebagai
subyek tindak pidana. Akan tetapi pertanggungjawaban pidana secara langsung
belum muncul, sehingga dalam hal ini yang dapat dipertanggungjawabkan secara
pidana adalah pengurus korporasi.
Tahap ketiga ternyata di Negeri Belanda maupun di Indoensia
pertanggungjawaban pidana korporasi atau korporasi sebagai subyek tindak pidana
secara langsung sudah dikenal. Di Negeri Belanda perkembangan
pertanggungjawaban pidana secara langsung pada awalnya terdapat dalam
perundang-undangan khusus diluar W.v.S. Seperti yang terdapat dalam Pasal 15 Wet
op de Economische Delicten tahun 1950. Pasal 2 Rijksbelasting Wet, tahun
1959. Perkembangan tersebut juga diikuti di Indonesia dalam Pasal 15
Undang-Undang Drt. No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan
Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
C. Karakteristik Tindak Pidana Korporasi
Pembicaraan mengenai kejahatan korporasi tidak akan pernah
dapat dilepaskan dari pembicaraan mengenai white collar crime (kejahatan
kerah putih). Istilah white collar crime diungkapkan pertama kali pada
tahun 1939 oleh kriminolog Edwin H. Sutherland dalam suatu presidential
addres dihadapan American Sociological untuk menunjuk pada
kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang terhormat dan status sosial
yang tinggi dalam kaitannya dengan okupasinya.
Secara umum white collar crime, dapat dikelompokkan
dalam:
- Kejahatan-kejahatan
yang dilakukan oleh kalangan profesi dalam melakukan pekerjaannya seperti
dokter, notaris pengacara, dan sebagainya;
- Kejahatan-kejatan
yang dilakukan oleh pemerintah atau aparatnya seperti korupsi dan tindakan
penyalahgunaan kekuasaan yang lain seperti pelanggaran terhadap hak-hak
warga negara;
- Kejahatan
korporasi.
White collar crime,
sebagaimana diungkapkan oleh Muladi, dapat bersifat individual dan kolektif. White
collar crime yang bersifat kolektif dapat berupa kejahatan yang
terorganisir (organized crimes) maupun kejahatan korporasi (corporate
crimes). Selain itu perlu pula dibedakan antara kejahatan-kejahatan yang
merugikan organisasi (white collar crime against organization) dan
kejahatan yang dilakukan oleh organisasi (white collar crime by organization).
Dengan demikian pada dasarnya ada perbedaan antara kejahatan okupasional (occupational
crimes) yang berarti kejahatan yang dilakukan oleh individu untuk
kepentingan sendiri dalam kaitannya dengan jabatan dan kejahatan lain oleh
karyawan yang merugikan majikan, dengan kejahatan korporasi (corporate crime)
yang merupakan perilaku korporasi yang tidak sah dalam bentuk pelanggaran hukum
kolektif dengan tujuan untuk mencapai tujuan organisasi.
Menurut I.S. Susanto, kejahatan korporasi adalah
tindakan-tindakan korporasi yang dapat dikenai sanksi, baik sanksi pidana,
perdata maupun administrasi, yang berupa tindakan penyalahgunaan secara melawan
hukum kekuasaan ekonomi (illegal abuses of power) seperti produk-produk
industri yang membahayakan kesehatan dan jiwa, penipuan terhadap konsumen,
pelanggaran terhadap peraturan perburuhan, iklan-iklan yang menyesatkan, pencemaran
lingkungan, manipulasi pajak.
Selanjutnya secara konsepsual, kejahatan yang menyangkut
korporasi perlu dibedakan antara:
- Kejahatan
korporasi, yaitu yang dilakukan oleh korporasi dalam usahanya mencapai
tujuan korporasi untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan
melanggar hukum;
- Korporasi
jahat, yaitu korporasi yang bertujuan semata-mata untuk melakukan
kejahatan (dalam hal ini korporasi hanya dipakai sebagai alat atau kedok
untuk melakukan kejahatan);
- Kejahatan
terhadap korporasi, seperti pencurian atau penggelapan terhadap milik
korporasi, disini yang menjadi korban justru korporasi itu sendiri.
Jenis kejahatan tersebut biasanya dilakukan oleh orang-orang
yang cukup pandai (intellectual criminal), maka pengungkapan terhadap
kejahatan-kejahatan yang terkait tidak mudah. Apalagi bilamana dikaji
karakteristiknya sebagai berikut:
- Kejahatan
korporasi sulit dilihat (low visibility), karena biasanya tertutup
oleh pekerjaan rutin.
- Kejahatan
tersebut sangat komplek (complexity), karena berkaitan dengan
kebohongan, penipuan dan pencurian serta seringkali berkaitan dengan
sesuatu yang alamiah, teknologis, finansial, legal, terorganisasi,
melibatkan banyak orang serta berjalan bertahun-tahun.
- Terjadinya
penyebaran tanggung-jawab (diffusion of responsibility) yang
semakin bias akibat kompleksitas organisasi.
- Penyebaran
korban yang luas (diffusion of victimization) seperti polusi,
penipuan konsumen dan lain-lain.
- Hambatan
dalam pendeteksian dan penuntutan (difficult to detection and to
prosecute) sebagai akibat profesionalisme yang tidak seimbang antara
aparat penegak hukum dengan pelaku kejahatan.
- Peraturan
yang tidak jelas (ambigious laws) yang seringkali menimbulkan
keraguan dalam penegakan hukum.
- Sanksi
yang lemah (lenient sanction), karena sanksi yang dikenal
berorientasi pada pelaku manusia alamiah.
- Ambiguitas
dalam status pelaku kejahatan (ambigious criminal status).
D. Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana
Tindak pidana itu berdiri sendiri,
itu baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana, Ini berarti
setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus
dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban pidana.
Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (verwijtbaarheid)
yang obyektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana
berdasarkan hukum pidana yang berlaku, dan secara subyektif kepada pembuat yang
memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatan tersebut.
Pertanggungjwaban pidana itu sendiri adalah diteruskannya
celaan yang obyektif yang ada pada tindak pidana dan secara subyektif kepada
seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya
itu.
Menurut Sudarto, bahwa: “disamping kemampuan
bertanggung-jawab kesalahan (schuld) dan melawan hukum (wederrechtelijk)
sebagai syarat untuk pengenaan pidana ialah pembahayaan masyarakat oleh
pembuat. Dengan demikian, konsepsi pertanggungjawaban pidana dalam arti
dipidananya si pembuat ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
- Ada
suatu tindak pidana dilakukan oleh pembuat;
- Adanya
unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan;
- Adanya
pembuat yang mampu bertanggung-jawab;
- Tidak
ada alasan pemaaf.
Berdasarkan hal tersebut diatas Sudarto, juga menyatakan hal
yang sama dikatakan, bahwa: “Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang
itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat
melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam
undang-undang dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision),
namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk
pemidanaan masih perlu adanya syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan
masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai
kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Dengan perkataan lain, orang
tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat
dari sudut perbuatannya, perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada
orang tersebut.
Menurut Barda Nawawi Arief, perumusan yang eksplisit seperti
diatas juga belum pernah ada dalam konsep-konsep (beliau menggunakan istilah
konsep untuk Rancangan KUHP, penulis) sebelumnya (Konsep 1964, 1968, dan
1971/1972).
Dalam Rancangan KUHP juga dimungkinkankan “dalam hal
tertentu seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang
dilakukan oleh orang lain, jika ditentukan dalam suatu undang-undang” (lihat
Pasal 32 ayat (2) RKUHP). Ketentuan ini merupakan pengecualian dari asas “tiada
pidana tanpa kesalahan”. Lahirnya pengecualian ini merupakan penghalusan dan
pendalamaan asas regulatif dari yuridis moral yaitu dalam hal-hal tertentu
tanggung-jawab seseorang dipandang patut diperluas sampai kepada tindakan
bawahannya yang melakukan pekerjaan atau perbuatan untuknya atau dalam
batas-batas perintahnya. Oleh karena itu, meskipun seseorang dalam kenyataannya
tidak melakukan tindak pidana namun dalam rangka pertanggungjawaban pidana ia
dipandang mempunyai kesalahan jika perbuatan orang lain yang berada dalam
kedudukan yang sedemikian itu merupakan tindak pidana. Sebagai suatu
pengecualian, maka ketentuan ini penggunaannya harus dibatasi untuk
kejadian-kejadian tertentu yang ditentukan secara tegas oleh undang-undang agar
tidak digunakan secara sewenang-wenang.
Asas pertanggungjawaban yang bersifat pengecualian ini
dikenal sebagai asas “vicarious liability”. Sering diartikan
“pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan
oleh orang lain” (the legal responsibility of one person for the wrongful
acts of another). Secara singkat sering diartikan “pertanggungjawaban
pengganti.”
Pengecualian lainnya terhadap asas kesalahan dapat juga
ditemukan dalam Pasal 32 ayat (3) Rancangan KUHP 1999-2000. Pasal tersebut
menyatakan: “untuk tindak pidana tertentu, undang-undang dapat menentukan bahwa
seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur
tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan.”
Asas yang terdapat dalam ketentuan diatas dikenal dengan
nama asas strict liability, yang sering diartikan secara singkat “liability
without fault” (pertanggungjawaban tanpa kesalahan).
Sedangkan, mengenai perumusan pertanggungjawaban pidana
korporasi dalam KUHP, Muladi mengatakan bahwa:
“Pemidanaan korporasi dilakukan atas dasar kepentingan
masyarakat dan tindak masyarakat dan tidak atas dasar tingkat kesalahan
subjektif. Dalam hal ini strict (absolute) liability yang
meninggalkan azas mens rea merupakan refleksi cenderung untuk menjaga
keseimbangan sosial kepentingan sosial.”
E. Masalah Kesalahan Korporasi
Pemikiran tentang kesalahan (schuld) sangat erat
hubungannya dengan kejahatan yang dilakukan manusia alamiah. Hal ini karena
dapat dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Meskipun
perbuatannya memenuhi rumusan tindak pidana dalam undang-undang dan tidak dapat
dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana.
Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan
itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Dengan
perkataan lain orang tersebut harus dilihat dari sudut perbuatannya dan harus
bisa dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.
Disini berlaku apa yang disebut asas tiada pidana tanpa
kesalahan (geen straf zonder schuld). Asas ini tidak ada dalam KUHP atau
dalam peraturan lain namun berlakunya asas tersebut sekarang tidak diragukan.
Akan bertentangan dengan rasa keadilan apabila ada orang yang dijatuhi pidana
padahal ia sama sekali tidak bersalah.
Asas kesalahan (geen straf zonder schuld) merupakan
asas yang fundamental dalam pemidanaan. Meskipun orang telah melakukan tindak
pidana, tidak selalu dipidana. Orang yang melakukan tindak pidana akan dijatuhi
pidana apabila orang itu mempunyai kesalahan atau dapat dipertanggungjawabkan
dalam hukum pidana. Kapan orang (pelaku atau pembuat) itu dikatakan mempunyai
kesalahan? Mengenai hal ini Sudarto menyatakan bahwa unsur-unsur kesalahan terdiri
dari:
- Pertama,
adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat (schuldfahigkeit
atau zurechnungsfahigkeit), artinya keadaan jiwa si pembuat harus
normal;
- Kedua,
hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa
kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa). Ini disebut
bentuk-bentuk kesalahan;
- Ketiga,
tidak adanya alasan yang menghapuskan kesalahan atau tidak ada alasan
pemaaf.
Untuk memahami persoalan tindak pidana dan
pertanggungjawaban pidananya, amak akan dikemukakan tabel seperti berikut ini:
No.
|
Tindak Pidana
(Syarat Objektif)
|
No.
|
Pertanggungjawaban Pidana Kesalahan
(Syarat subjektif)
|
1.
|
Perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang
|
1.
|
Kemampuan bertanggung-jawab
|
2.
|
Sifat melawan hukum
|
2.
|
Kesengajaan atau kealpaan
|
3.
|
Tidak ada alasan pembenar
|
3.
|
Tidak ada alasan pemaaf
|
Khusus masalah kesalahan korporasi atau pertanggungjawaban
pidana terhadap korporasi akan dibahas tiga unsur kesalahan (syarat subjektif)
tersebut dimuka. Namun sbeelum membahas hal tersebut kita perlu menjawab
persoalan, bagaimanakah pengaruh asas kesalahan ini apabila korporasi
dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana? Mengenai hal ini Suprapto berpendapat
bahwa “korporasi bisa dipersalahkan apabila kesengajaaan atau kealpaan terdapat
pada orang-orang yang menjadi alat-alat perlengkapannya. Kesalahan itu bukan
individual akan tetapi kolektif karena korporasi menerima keuntungan.”
Sedangkan Van Bemmelen dan Remmelink berpendapat bahwa “korporasi tetap dapat
mempunyai kesalahan dengan konstruksi kesalahan pengurus atau anggota direksi.”
Dari pendapat Suprapto, Van Bemmelen dan Remmelink tersebut dapat disimpulkan
bahwa untuk mempertanggungjawabkan korporasi, asas tidak ada pidana tanpa
kesalahan tetap tidak ditinggalkan.
Dari berbagai pendapat tersebut diatas, terdapat
kecenderungan bahwa dalam mempertanggungjawabkan korporasi, asas geen straf
zonder schuld tidak mutlak berlaku, karena realitas dalam masyarakat
menunjukkan bahwa kerugian dan bahaya yang disebabkan oleh perbuatan-perbuatan
korporasi sangat besar, baik kerugian yang bersifat fisik, ekonomi maupun biaya
sosial (social cost). Disamping itu yang menjadi korban tidak hanya
orang –perseorangan melainkan juga masyarakat dan negara.
- Masalah
Kemampuan Bertanggung-jawab Korporasi
Kemampuan bertanggung-jawab merupakan salah satu unsur
pertanggungjawaban pidana. Tidaklah mungkin seseorang dapat
dipertanggunjawabkan apabila ia tidak mampu bertanggungjawab. Kapan seseorang
itu dikatakan mampu bertanggungjawab? Dalam KUHP tidak terdapat pengertian
tentang hal ini. Namun dalam literature hukum pidana ditemui beberapa pendapat
tentang hal ini.
Simons mengatakan “kemampuan bertanggung-jawab dapat
diartikan sebagai suatu keadaan psikis sedemikian, yang membenarkan adanya
penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun dari
orangnya.” Dikatakan selanjutnya bahwa seseorang mampu bertanggung-jawab jika
jiwanya sehat, yakni apabila: (a) ia mampu untuk mengetahui atau menyadari
bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum; dan (b) ia dapat menentukan
kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut.
Sehubungan dengan kemampuan bertanggung-jawab korporasi
sebagai subjek tindak pidana, muncul pertanyaan, untuk mempertanggungjawabkan
korporasi, apakah diperlukan kemampuan bertanggung-jawab? Apakah kriteria untuk
menentukan kemampuan bertanggung-jawab korporasi sebagai subjek tindak pidana?
Nmapaknya merupakan hal yang tidak mudah mencari dasar kemampuan
bertanggung-jawab korporasi, Karen akorporasi sebagai subjek tindak pidana
tidak mempunyai sifat kejiwaan (kerohanian) seperti halnya manusia alamiah (natuurlijk
persoon). Namun demikian, persoalan tersebut dapat apabila kita menerima
konsep kepelakuan fungsional (functioneel daderschap).
Menurut Wolter, kepelakuan fungsional (functioneel
daderschap) adalah karya interpretasi kehakiman. Hakim menginterpretasikan
tindak pidana itu sedemikian rupa sehingga pemidanaannya memenuhi persyaratan
dari masyarakat. Ciri khas dari kepelakuan fungsional, yaitu perbuatan fisik
dari yang satu (yang sebenarnya melakukan atau membuatnya) menghasilkan
perbuatan fungsional terhadap yang lain. Sedangkan untuk meyakini adanya
interpretasi fungsional dari hakim harus melalui 3 tahap:
- Pertama,
kepentingan yang manakah yang ingin dilindungi oleh pembentuk
undang-undang.
- Kedua,
pribadi yang manakah dalam kasus pidana ini yang dapat menjalankanatau
melakukan tindak pidana. Siapa yang berada dalam posisi yang sangat
menentukan untuk jadi atau tidaknya dilakukan atau dijalankan tindak
pidana itu. Hal ini perlu bilamana hakim telah menetapkan bahwa dengan
penjelasan yang wajar secara harfiah (normale, letterlijk uitleg)
ternyata tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tentang hal ini, Sahetapy
mengemukakan dalam proses interpretasi fungsional akan ditemukan pelaku
fisik, namun diputuskan bahwa undang-undang pidana tidak memaksudkan
mereka.
- Dalam
tahap ketiga, diajukan pertanyaan pembuktian, apakah ada cukup pembuktian
secara sahih (wettig bewijs), ternyata tidak memberikan hasil yang
memuaskan.
Apabila kita menerima konsep funtioneel daderschap, maka
kemampuan bertanggung-jawab masih berlaku dalam mempertanggungjawabkan
korporasi dalam hukum pidana. Sebab keberadaan korporasi tidaklah dibentuk
tanpa suatu tujuan dan dalam pencapaian tujuan korporasi tersebut selalu
diwujudkan melalui perbuatan manusia alamiah. Oleh karena itu, kemampuan bertanggung-jawab
orang-orang yang berbuat untuk dan atas nama korporasi dialihkan menjadi
kemampuan bertanggung-jawab korporasi sebagai subjek tindak pidana.
- Masalah
Kesengajaan dan Kealpaan Korporasi
Unsur kedua dari pertanggungjawaban atau kesalahan dalam arti
yang seluas-luasnya adalah hubungan batin antara pembuat dengan perbuatannya.
Hubungan batin ini berupa kesengajaan dan kealpaan. KUHP kita tidak memberikan
pengertian atau definisi tentang kesengajaan dan kealpaan. Namun kita dapat
menemui pengertian dua hal tersebut dalam Memorie van Toelichting (M.v.T).
M.v.T. mengartikan kesengajaan (opzet) sebagai
‘menghendaki’ dan ‘mengetahui’ (willens end wetens). Jadi dapat
dikatakan bahwa sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan.
Orang melakukan perbuatan dengan sengaja menghendaki perbuatan itu dan ia
mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukan itu. Misalnya, seorang ibu
yang sengaja tidak memberi susu kepada anaknya, menghendaki dan sadar akan
perbuatannya tersebut.
Sedangkan kealpaan dalam M.v.T. dijelaskan bahwa pada
umumnya bagi kejahatan, undang-undang mengharuskan bahwa kehendak terdakwa
ditujukan kepada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Disini
sikap batin dari orang yang menimbulkan keadaan yang dilarang itu bukanlah
menentang larangan tersebut. Dia tidak menghendaki atau menyetujui timbulnya
hal yang dilarang, tetapi kesalahannya ada dalam batinnya sewaktu ia berbuat,
sehingga menimbulkan hal yang dilarang itu. Jadi bukanlah semata-mata menentang
larangan tersebut dengan (justru) melakukan yang dilarang itu, tetapi dia tidak
begitu mengindahkan larangan. Dia lalai dalam melakukan perbuatan tersebut,
sebab jika ia cukup mengindahkan adanya larangan waktu melakukan perbuatan yang
secara objektif-kausal menimbulkan hal yang dilarang, dia tentu tidak alpa atau
kurang hati-hati, agar jangan sampai mengakibatkan hal-hal yang dilarang tadi.
Mengenai persoalan pertanggungjawaban pidana korporasi,
Schaffmeister menanyakan apabila suatu badan hukum (korporasi) dituntut,
bagaimanakah badan hukum yang tidak mempunyai jiwa manusia menselijke
psychis dapat memenhi unsure psikis (de psychische bestanddelen)
yaitu kesengajaan (opzet) dan kealpaan (culpa)? Hal ini memang
merupakan hal sulit, namun dapat dijelaskan bahwa kesengajaan itu terdapat
dalam politik perusahaan atau berada dalam keadaan nyata dari suatu perusahaan
tertentu. Toringa menjelaskan bahwa kesengajaan dan kealpaan harus dilihat
dalam suasana kejiwaan (psychisch klimaat). Misalnya dalam perseroan
tertutup dengan pimpinan kembar yang didirikan untuk melakukan kekacauan (ingat
criminal corporations), atau pemikiran perusahaan pengangkutan bahwa
perusahaan tidak dapat berjalan tanpa melanggar undang-undang pada saat menggunakan
kendaraannya.
Sehubungan dengan pertanggungjawaban korporasi ini –
khususnya masalah kesengajaan dan kealpaan korporasi – Muladi mengajukan dua
persoalan yang perlu diperhatikan, yaitu:
- Pertama,
apakah ukuran-ukuran yang dapat dijadikan pedoman untuk
mempertanggungjawabkan korporasi? Hal ini dapat dipecahkan dengan melihat
apakah tindakan para pengurus tersebut dalam kerangka tujuan statutair dari
korporasi dan atau sesuai dengan kebijaksanaan perusahaan (bedrijspolitiek).
Bahkan sebenarnya cukup untuk melihat apabila tindakan itu sesuai dengan
ruang lingkup pekerjaan (feitelijke werzaambeden) dari korporasi.
Kepelakuan korporasi tidak akan diterima dengan mudah, apabila tindakan
tersebut dalam pergaulan masyarakat tidak dipandang sebagai pelaku korporasi.
- Kedua,
bagaimana menentukan kesengajaan dan kealpaan korporasi? Dalam hal
menyangkut masalah kejiwaan atau sikap batin ini, yang dapat dilakukan
adalah melihat apakah melihat apakah kesengajaan bertindak para pengurus
pada kenyataannya tercakup dalam politik perusahaan, atau berada dalam
kegiatan yang nyata dari suatu perusahaan tertentu. Jadi harus dideteksi
melalui suasana kejiwaan (psychisch klimaat) yang berlaku pada
korporasi tersebut. Jadi konstruksi pertanggungjawaban (toerekeningsconstructie)
kesengajaan dari perorangan (natuurlijk persoon) yang bertindak
atas nama korporasi bisa menimbulkan kesengajaan korporasi tersebut.
- Masalah
Alasan Pemaaf
Alasan pemaaf merupakan salah satu alasan penghapus pidana (strauitsluitings
grand). Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, alasan penghapus pidana
dibedakan menjadi alasan pembenar (rechtvaardigings grond) dan alasan
pemaaf (schuld uitsluitings gorond). Pembedaan tersebut sesuai dengan
perkembangan hukum pidana yang membedakan dapat dipidananya perbuatan (straf
baarheid van het feit) dengan dapat dipidananya orang yang melakukan
perbuatan (straf baarheid van der persoon).
Alasan pembenar merupakan alasan yang menghapuskan sifat
melawan hukumnya perbuatan. Alasan pembenar yag terdapat dalam KUHP adalah
pembelaan terpaksa (Pasal 49 ayat (1)), melaksanakan ketentuan undang-undang
(Pasal 50), dan melaksanakan perintah jabatan (Pasal 51 ayat (1)). Sedangkan
alasan pemaaf merupakan alasan yang menghapuskan kesalahan pelakunya, yaitu tak
mampu bertanggung-jawab (Pasal 44 KUHP), pembelaan terpaksa yang melampaui
batas (Pasal 49 ayat (2) KUHP), dan dengan itikad baik melaksanakan perintah
jabatan yang tidak sah (Pasal 51 ayat (2) KUHP).
Berhubungan dengan korporasi sebagai subyek tindak pidana
yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, apakah alasan penghapus
pidana khususnya alasan-alasan pemaaf sebagaimana disebut dimuka juga berlaku
terhadap korporasi? Sebagai konsekuensi diterimanya asas kesalahan pada
korporasi, maka seperti halnya manusia alamiah (natuurlijk persoon),
korporasi juga harus menunjuk dasar adanya alasan yang menghapuskan kesalahan
(alasan pemaaf). Hanya saja, alasan pemaaf sebagaimana yang diatur dalam Pasal
44 KUHP tentang ketidakmampuan bertanggung-jawab karena cacat dalam tubuhnya
dan atau jiwanya terganggu karena penyakit, dan juga alasan pemaaf yang diatur
dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP tentang pembelaan yang melampaui batas nampaknya
sulit untuk mencari dasar sebagai alasan pemaaf bagi korporasi. Sebab kedua
alasan ini mensyaratkan adanya suatu keadaan kejiwaan tertentu, yang mutlak
hanya dapat terjadi pada diri manusia. Oleh Karen aitu alasan penghapus
kesalahan (alasan pemaaf) korporasi harus dicari pada korporasi itu sendiri.
Berdasarkan pemahaman pendapat tentang alasan pemaaf
korporasi tersebut, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Pertama,
dalam menilai pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi, ternyata
alasan-alasan penghapus kesalahan (alasan pemaaf) tetap berlaku terhadap
korporasi, dengan mendasarkan pada ketiadaan semua kesalahan (afwezigheid
van alle schuld).
- Kedua,
alasan-alasan pemaaf yang lain, seperti daya paksa (overmacht)tidak
selalu bisa diambilkan dari alasan pemaaf natuurlijk persoon yang
bertindak untuk dan atau atas nama korporasi, akan tetapi harus dicari
sesuai dengan sifat kemandirian (persoonlijk) korporasi yang
bersangkutan. Dalam suatu kasus (keadaan) tertentu korporasi dapat
mengambil alih alasan pemaaf dari natuurlijk persoon yang bertindak
untuk dan atas nama korporasi, tetapi dalam kasus (keadaaan) yang lain
korporasi tidak dapat mengambil alih alasan pemaaf dari natuurlijk
persoon yang bertindak untuk dan atas nama korporasi.
- Ketiga,
alasan pemaaf yang berupa ketidakmampuan bertanggung-jawab yang diatur
dalam Pasal 44 KUHP dan pembelaan terpaksa (darurat) yang melampui batas
sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP tidak bisa diambil alih
menjadi alasan pemaaf korporasi, karena kedua jenis alasan pemaaf ini
mensyaratkan keadaan jiwa tertentu, yang mutlak hanya dapat terjadi pada diri
manusia.
F. Teori-Teori Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum
Pidana
Doktrin Identifikasi
Dalam rangka mempertanggungjawabkan korporasi secara pidana,
di negara Anglo Saxon seperti di Inggris dikenal konsep direct corporate
criminal liability atau doktrin pertanggungjawaban pidana langsung. Menurut
doktrin ini, perusahaan dapat melakukan sejumlah delik secara langsung melalui
orang-orang yang sangat berhubungan erat dengan perusahaan dan dipandang
sebagai perusahaan itu sendiri. Dalam keadaan demikian, mereka tidak sebagai
pengganti dan oleh karena itu pertanggungjawaban perusahaan tidak bersifat
pertanggungjawaban pribadi Doktrin ini juga dikenal dengan nama The
Identification doctrine atau doktrin identifikasi.
Secara harfiah suatu tindak pudana menurut common law atau
menurut penal statute tidak dapat diterapkan terhaap suatu perusahaan.
Misalnya, tindak pidana tersebut memerlukan mens rea. Maka hakim telah
mengembangkan suatu sarana untuk mengaitkan pikiran dengan badan hukum ini,
membenarkan pendapat bahwa perusahaan itu secara pidana bertanggung-jawab dalam
perkara semacam itu. Mereka telah berbuat demikian berdasarkan “doktrin
identifikasi”. Karena perusahaan itu merupakan kesatuan buatan, maka ia hanya
dapat bertindak melalui agennya. Menurut doktrin identifikasi, agen tertentu
dalam sebuah perusahaan dianggap sebgaia directing mind atau alter
ego. Perbuatan dan mens rea para individu itu kemudian dikaitkan
dengan perusahaan. Bila individu diberi wewenang untuk bertindak atas nama dan
selama menjalankan bisnis perusahaan itu, maka mens rea para individu
merupakan mens rea perusahaan itu.
Doktrin Pertanggungjawaban Pengganti
(Vicarious Liability)
Dalam membahas masalah pertanggungjawaban pidana korporasi
juga dikenal sistem pertanggungjawaban pidana pengganti adalah
pertanggungjawaban seseorang tanpa kesalahan pribadi, bertanggungjawab atas
tindakan orang lain (a vicarious liability is one where in one person,
though without personal fault, is more liable for the conduct of another).
Vicarious liability menurut
Barda Nawawi Arief, diartikan pertanggungjwaban hukum seseorang atas perbuatan
salah yang dilakukan oleh orang lain (the legal responsibility of one person
for the wrongful acts of another). Secara singkat sering diartikan
“pertanggungjawaban pengganti”.
Menurut doktrin vicarious liability, seseorang dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatan dan kesalahan orang lain.
Pertanggungjawaban demikian hampir semuanya ditujukan pada delik undang-undang
(statutory offences), dan dasarnya adalah maksud pembuat undang-undang
(sebagaimana dapat dibaca dari ketentuan didalamnya) bahwa delik ini dapat
dilakukan baik secara vicarious maupun secara langsung. Dengan kata
lain, tidak semua delik dapat dilakukan secara vicarious. Pengadilan
telah mengembangkan sejumlah prinsip-prinsip mengani hal ini. Salah satunya
adalah employment principle
Doktrin Pertanggungjawaban yang
Ketat Menurut Undang-Undang (Strict Liability)
Dilihat dari sejarah perkembangannya, prinsip tanggung-jawab
berdasarkan kepada adanya unsure kesalahan (liability on fault or negligence
atau fault liability) merupakan reaksi terhadap prinsip atau teori
tanggung-jawab mutlak no fault liability atau absolute/strict
liability yang berlaku pada jaman masyarakat primitive. Pada masa itu
berlaku suatu rumus (formula): a man acts at his peril yang berarti
bahwa perbuatan apapun yang dilakukan seseornag, bila merugikan orang lain,
akan menyebabkan dia dipersalahkan telah melanggar hukum. Dengan perkataan
lain, seseorang bertanggung-jawab untuk setiap kerugian untuk bagi orang lain
sebagai akibat perbuatannya.
G. Model-Model Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum
Pidana
Berkaitan dengan kedudukan korporasi sebagai pembuat dan
sifat pertanggungjawaban pidan korporasi, terdapat tiga model
pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu:
- Pengurus
korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung-jawab;
- Korporasi
sebagai pembuat dan pengurus bertanggung-jawab;
- Korporasi
sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung-jawab.
H. Pengurus Korporasi Sebagai Pembuat dan Penguruslah yang
Bertanggung-Jawab
Teori fiksi sendiri berasal dari von Savigny berpendapat
“badan hukum itu semata-mata buatan negara saja. Sebetulnya menurut alam hanya
manusia sajalah sebagai subyek hukum, badan hukum itu hanya suatu fiksi saja,
yaitu sesuatu yang sesungguhnya tidak ada, tetapi orang menciptakan dalam
bayangannya suatu pelaku hukum (badan hukum) sebagai subyek hukum
diperhitungkan sama dengan manusia. Teori fiksi (fiction theory) disebut
juga teori kesatuan semu (artificial entity theory). Teori ini
mengajarkan bahwa perusahaan hanya ciptaan dan khayalan manusia, dan dianggap
oleh manusia. Jadi, tidak terjadi secara alamiah. Badan hukum hanyalah sebagai
makhluk yang diciptakan oleh hukum (creatur of law).
Atas dasar pengaruh dari teori tersebut diatas, yang
mempengaruhi KUHP Indonesia yang juga merupakan warisan Belanda, bahwa subyek
tindak pidana yang dikenal hanya manusia. Apabila dalam hal pengurus korporasi
sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung-jawab, kepada pengurus
korporasi dibebankan kewajiban-kewajiban tertentu. Kewajiban yang dibebankan
itu sebenarnya adalah kewajiban dari korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi
kewajiban itu diancam dengan pidana. Dasar pemikirannya adalah korporasi itu
sendiri tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap suatu pelanggaran, melainkan
penguruslah yang melakukan delik itu. Dan karenanya penguruslah yang diancam
pidana dan dipidana.
Didalam KUHP, sebagai contoh dapat dikemukakan Pasal 169
KUHP, turut serta dalam perkumpulan yang terlarang, Pasal 398 KUHP dan Pasal
399 KUHP; tindak pidana yang menyangkut pengurus atau komisaris Perseroan
Terbatas dan sebagainya yang dala keaadaan pailit merugikan perseroannya.
Untuk memperjela contoh tersebut diatas, dapat dikemukakan
bunyi ketentuan Pasal 169 KUHP:
- Turut
serta perkumpulan yang tujuannya melakukan kejahatan, atau turut serta
perkumpulan lainnya yang dilarang oleh aturan-aturan umum diancam dengan
pidana penjara paling lama enam tahun.
- Turut
serta perkumpulan yang tujuannya melakukan pelanggaran, diancam dengan
pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau denda paling banyak tiga
ratus rupiah (denda dikalikan lima belas berdasarkan UU No. 18/Prp/1960).
- Terhadap
pendiri atau pengurus, pidana dapat ditambah sepertiga.
Pasal 392 KUHP, yang dapat dipertanggungjawabkan dan
dipidana pengusaha/pengurus/komisaris dan bukan korporasinya. Pasal 392 KUHP,
berbunyi:
“Seorang pengusaha, seorang pengurus atau komisaris
perseroan terbatas, maskapai andil Indonesia atau koperasi, yang sengaja
mengumumkan keadaan atau neraca yang tidak benar, diancam dengan pidana penjara
paling lama satu tahun empat bulan.”
Korporasi sebagai Pembuat dan Pengurus Bertanggung-jawab
Dalam model ini, korporasi sebagai pembuat dan pengurus
bertanggung-jawab, maka dtegaskan bahwa korporasi mungkin sebagai pembuat.
Pengurus ditunjuk sebagai yang bertanggung-jawab; yang dipandang dilakukan oleh
korporasi adalah apa yang dilakukan oleh alat perlengkapan korporasi menurut
wewenang berdasarkan anggaran dasarnya. Tindak pidana yang dilakukan oleh
korporasi adalah tindka pidana yang dilakukan oleh seorang tertentu sebagai
pengurus dari badan hukum tersebut. Sifat dari perbuatan yang menjadikan tindak
pidana itu adalah onpersoonlijk. Orang yang memimpin korporasi
bertanggung-jawab pidana, terlepas dari apakah ia tahu ataukah tidak tentang
dilakukannya perbuatan itu. Untuk hal tersebut Roeslan Saleh setuju bahwa
prinsip ini hanya berlaku untuk pelanggaran saja:
Undang-Undang No. 12/Drt/1951, LN.
1951-78, tentang Senjata Api
Pasal 4 ayat (1): “Bilamana sesuatu perbuatan yang dapat
dihukum menurut undang-undang ini dilakukan oleh atau atas kekuasaan suatu
badan hukum, maka penuntutan dapat dilakukan dan hukuman dapat dijatuhkan
kepada pengurus atau kepada wakilnya setempat.”
Ayat (2): “Ketentuan pada ayat (1) dimuka berlaku juga
terhadap badan-badan hukum, yang bertindak selaku pengurus atau wakil dari
suatu badan hukum lain.”
Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 jo.
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
Pasal 46 ayat (2): “Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk Perseroan Terbatas,
perserikatan, yayasan atau koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan
dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang memberikan perintah melakukan
perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau
terhadap perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.”
Ketentuan serupa dapat pula ditemukan dalam Pasal 19
Undang-Undang No. 1 Tahun 1951, tentang berlakunya Undang-Undang Kerja Tahun
1948 No. 12 dari R.I. untuk Seluruh Indonesia, Pasal 30, Undang-Undang No. 2
Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Kecelakaan Tahun 1947
No. 33 dari R.I. untuk Seluruh Indonesia, Pasal 34, Undang-Undang No. 2 Tahun
1981 tentang Metrologi Legal.
Korporasi sebagai Pembuat dan juga
sebagai yang Bertanggungjawab
Dalam model ini, korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai
yang bertanggung-jawab motivasinya adalah dengan memperhatikan perkembangan
korporasi itu sendiri, yaitu bahwa ternyata untuk beberapa delik tertentu,
diterapkannya pengurus saja sebagai yang dapat dipidana ternyata tidak cukup.
Dalam delik-delik ekonomi bukan mustahil denda yang dijatuhkan sebagai hukuman
kepada pengurus dibandingkan dengan keuntungan yang telah diterima oleh
korporasi dengan melakukan perbuatan itu, atau kerugian yang ditimbulkan dalam
masyarakat, atau yang diderita oleh saingan-saingannya, keuntungan dan atau
kerugian-kerugian itu adalah lebih besar daripada denda yang dijatuhkan sebagai
pidana. Dipidananya pengurus tidak memberikan jaminan yang cukup bahwa
korporasi tidak sekali lagi melakukan perbuatan yang telah dilarang oleh
undang-undang itu. Ternyata dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan
repressi terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu korporasi.
Karenanya diperlukan pula untuk dimungkinkan memidana korporasi, dan pengurus
atau pengurus saja.
Apabila ditelaah lebih mendalam khususnya apabila
dihubungkan dengan perkembangan peraturan perundang-undangan yang ada di
Indonesia, maka tidak dapat disangkal lagi bahwa pertanggungjawaban pidana
korporasi secara langsung, sudah diatur dengan jelas dalam beberapa peraturan
perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang menempatkan korporasi
sebagai subyek tindak pidana dan secara langsung dapat dipertanggungjawabkan
secara pidana adalah Undang-Undang Drt. No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan,
Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Pasal 15 ayat (1) berbunyi:
“Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas
nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan,
maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib
dijatuhkan, baik terhadap badan hukum perseroan, perserikatan atau yayasan itu,
baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindka pidana ekonomi itu
atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu maupun
terhadap kedua-duanya.”
Hal serupa dapat ditemukan pula dalam Undang-Undang No. 6
Tahun 1984 tentang Pos, Pasal 19 ayat (3), Undang-Undang No. 23 Tahun 1997
tentang Lingkungan Hidup, Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2), Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20
Tahun 2001, Pasal 20 ayat (1) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
pPasal 4 ayat (1), Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 jo. Undang-Undang No. 25
Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
H. Sistem Sanksi Pidana Korporasi
Masalah pokok yang kedua dalam menggunakan sarana penal
untuk menanggulangi kejahatan korporasi adalah memilih dan menetapkan sanksi
pidana apa yang tepat untuk korporasi yang melakukan kejahatan. Masalah ini
termasuk politik dan kebijakan kriminal. Memilih dan menetapkan pidana sebagai
sarana untuk menanggulangi kejahatan korporasi tentu harus memperhitungkan
faktor-faktor yang mendukung bekerjanya hukum pidana dalam kenyataan, termasuk
motif-motif kejahatan korporasi yang bersifat ekonomis.
Dengan diterimanya korporasi sebagai subyek tindak pidana,
maka pidana yang dapat dijatuhkan pada korporasi harus sesuai dengan sifat
korporasi yang bersangkutan. Mengingat KUHP menganut sistem dua jalur (double
track system) dalam pemidanaan, dalam arti disamping pidana dapat pula
dikenakan berbagai tindakan kepada pelaku, maka sistem ini dapat pula
diterapkan dalam pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana.
Namun demikian tetap harus diingat bahwa dampak yang ingin dicapai dalam
pemberian sanksi terhadap korporasi tersebut tidak hanya yang mempunyai financial
impacts tetapi juga mempunyai nonfinancial impacts. Karena itu dapat
dikemukakan bahwa pidana mati, pidana penjara, dan pidana kurungan tidak dapat
dijatuhkan pada korporasi. Sanksi yang dapat dijatuhkan pada korporasi adalah
pidana denda, pidana tambahan, tindakan tata tertib, tindakan administratif dan
sanksi keperdaataan berupa ganti kerugian.
Menurut penulis, apabila tindak pidana yang dilakukan
korporasi sangat berat, maka di berbagai negara hendaklah dipertimbangkan untuk
menerapkan pengumuman keputusan hakim (adverse publicity) sebagai sanksi
atas biaya korporasi, sebab dampak yang akan dicapai tidak hanya korporasi yang
memmiliki financial impacts, tetapi juga memiliki non financial
impacts.
Dengan demikian, perbedaan prinsip antara sanksi pidana
dengan sanksi tindakan terletak pada ada tidaknya unsure pencelaan, buka pada
ada tidaknya unsure penderitaan. Sedangkan sanksi tindakan tujuannya lebih
bersifat mendidik. Begitu juga subjek hukum yang akan dipertanggungjawabkan
secara pidana, tidak dapat dipisahkan dengan masalah penetapan jenis sanksi
yang akan dkenakan terhadapnya. Sebagai missal, pemidanaan untuk kejahatan
korporasi (corporate crime) tidaklah cukup dengan menetapkan jenis
sanksi pidana saja, karena kurang relevan dengan sifat korporasi itu sendiri
sebagai subjek hukum pidana. Sehubungan dengan sanksi apakah yang tepat dan
dapat dikenakan terhadap korporasi, Sudarto menyatakan bahwa untuk korporasi
yang melakukan tindak pidana dapat dikenakan sanksi pidana pokok denda dan
pidana tambahan serta sejumlah (sanksi, pen.) tindakan.
Masih terkait dengan masalah stelsel sanksi yang dapat
diterapkan untuk korporasi, Suprapto dalam disertasinya menyatakan hukuman yang
dapat dikenakan pada perusahaan (korporasi, pen.) adalah :
- Penutupan
seluruhnya atau sebagian perusahaan si terhukum untuk waktu tertentu;
- Pencabutan
seluruh atau sebagian fasiliteit tertentu yang telah atau dapat
diperolehnya dari pemerintah oleh perusahaan selama waktu tertentu;
- Penempatan
perusahaan dibawah pengampuan selama waktu tertentu.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan mengenai delik korporasi tersebut
diatas, dapat dimpulkan sebagai berikut:
- Kejahatan
korporasi atau delik korporasi adalah tindakan-tindakan korporasi yang dapat
dikenai sanksi, baik sanksi pidana, perdata maupun administrasi, yang
berupa tindakan penyalahgunaan secara melawan hukum kekuasaan ekonomi (illegal
abuses of power)
- Dengan
diterimanya korporasi sebagai subyek tindak pidana, maka pidana yang dapat
dijatuhkan pada korporasi harus sesuai dengan sifat korporasi yang
bersangkutan. Mengingat KUHP menganut sistem dua jalur (double track
system) dalam pemidanaan, dalam arti disamping pidana dapat pula
dikenakan berbagai tindakan kepada pelaku, maka sistem ini dapat pula
diterapkan dalam pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak
pidana.
B. SARAN
Penulis sejalan dengan pendapat Bismar Siregar yang menyimpulkan bahwa:
- Dengan
pertimbangan dampak yang dapat ditimbulkan oleh kejahatan korporasi baik
bagi masyarakat,perekonomian, pemerintahan dan aspek-aspek lainnya yang
berbahaya, bahkan lebih serius dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan
oleh bentuk-bentuk kejahatan yang konvensional, maka harus ada konsistensi
dan landasan yang solid dalam hukum untuk dapat membebankan
pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Dalam berbagai harus terdapat
pengaturan menyangkut pertanggungjawaban ini.
- Selain
itu, diperlukan perhatian studi yang lebih mendalam, baik di kalangan
akademis, professional maupun aparat penegak hukum, guna membangun suatu
kerangka teoritis bagi pertanggungjawaban pidana korporasi. Hal ini
hendaknya diimbangi pula dengan upaya peningkatan kualitas dan kemampuan
para penegak hukum yang akan menerapkannya. Mereka harus mampu dan kreatif
untuk melakukan terobosan-terobosan hukum.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku, Jurnal, Koran
Amrullah, M. Arief, Kejahatan Korporai, Bayumedia
Publishing, Malang, 2006.
Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Sistem Pemidanaan dalam
Perbankan, Makalah pada Clloquium penyususnan Naskah Akademik dan RUU
Perbankan, UNDIP-BI, Semarang, 2002.
Arief, Barda Nawawi, Sari Kuliah Perbandingan Hukum
Pidana, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Clinard, Marshall, B. dan Peter C. Yeager, 1983, Corporate
Crime, The Free Press, New York.
Muladi dan Dwija Priyatno, 1991, Pertanggungjawaban
Korporasi dalam Hukum Pidana, Bagian Penerbitan Sekolah Tinggi Bandung.
Muladi, Fungsionalisasi Hukum Pidana di dalam Kejahatan
yang Dilakukan oleh Korporasi, Makalah, Disajikan dalam Seminar Nasional
Kejahatan Korporasi, Tanggal 23-24 Nopember 1989, Semarang. Bandingkan pula
dengan Steven Box, Power Crime and Mystification, Tavistock, London,
1983.
Sholehuddin, M., Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana Ide
Dasar Double Track System & Implementasinya, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2007.
Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan
Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1997.
Priyatno, Dwidja, Kebijaksanaan Legislasi tentang Sistem
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Utomo, Bandung, 2004.
R., Al Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum
Perseroan , Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, ALUMNI – Bandung, 2001.
Reksodiputro, Mardjono, Struktur Perekonomian Dewasa Ini
dan Permasalahan Korban, Makalah, Disampaikan pada Seminar Viktimologi di
Surabaya, tanggal 28 Oktober 1988.
Sahetapy, J.E, Kejahatan Korporasi, Eresco, Bandung,
1994.
Sahetapy, J.E., Kejahatan Korporasi, Makalah sebagai
Bahan Penataran Hukum Pidana dan Kriminologi, Semarang, tanggal 8-23 Nopember
1993.
Separovic, Zvonimir Paul, Victimology, Studies of
Victims, Zagreb, 1985.
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni,
Bandung, 1987.
Susanto, I.S., Kejahatan Korporasi, Badan Penerbit
Undip, Semarang, 1995.
Susanto, I.S., Kriminologi, Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, Semarang, 1995.
Susanto, I.S., Kejahatan Korporasi di Indonesia Produk
Kebijakan Rezim Orde Baru, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Semarang, 1999.
Shofie, Yusuf, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana
Korporasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002.
Suheryadi, Bambang, Penanggulangan Kejahatan Korporasi
dalam Perspektif Kebijakan Hukum Pidana, Yuridika, Vol. 18, No. 1,
Januari-Pebruari 2003.
Yunara, Edi, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi Berikut Studi Kasus, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005.
Kompas, Sabtu 7 April 1990 dalam Made Darma Weda, Beberapa
Catatan tentang Korban Kejahatan Korporasi, Yuridika, Majalah Fakultas
Hukum UNAIR No. 2 Tahun IX Maret-April 1994.
Internet
Nasution, Bismar, Kejahatan Korporasi dan
Pertanggungjawabannya, tanpa tahun, http://google.com, diakses Senin, 28-3-2011, pk. 08.30 wib.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Drt. No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan,
Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi
Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Undang-Undang No. 8 Tahun Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan
ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 jo. Undang-Undang No. 25
Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
[1]
Dwidja Priyatno, Kebijaksanaan Legislasi tentang Sistem
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Utomo, Bandung, 2004,
hlm. 12
[2]
Ibid
[3]
ibid
[5]
Ibid, Hlm. 17
[6]
Ibid, Hlm 18
[7]
J.E. Sahetapy, Kejahatan Korporasi, Makalah sebagai
Bahan Penataran Hukum Pidana dan Kriminologi, Semarang, tanggal 8-23 Nopember
1993, hlm. 3. Dalam makalah ini juga dikemukakan beberapa perbedaan penamaan
yang intinya mempunyai kesamaan pengertian, yaitu kejahatan korporasi.
[8]
ibid
[9]
Ibid, Hlm 26
[11]
Ibid Hlm. 8
[12]
Steven Box, Deviance, Reality and Society, Holt,
Rinehart and Winston, London, 1971, hlm. 57 dst. Dalam hal ini lihat pula
Mardjono Reksodiputro, Struktur Perekonomian Dewasa Ini dan Permasalahan
Korban, Makalah, Disampaikan pada Seminar Viktimologi di Surabaya, tanggal
28 Oktober 1988. Hlm. 21
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusBlackjack, Casino & Poker | Dr. McD
BalasHapusA blackjack table and live dealer tables are offered at Blackjack, 충청북도 출장안마 Casino 양산 출장마사지 & Poker, 서귀포 출장마사지 The tables also offer live blackjack games, roulette, and 영천 출장마사지 blackjack 수원 출장마사지